HERMENEUTIK - SUFISTIK : PEREMPUAN, KEPEMIMPINAN DAN DAKWAH DALAM WACANA ISLAM PROGRESIF

 


Oleh : IMMawan Muh. Hisyam

(Ketua Bidang Kaderisasi PC IMM Kota 
MakassarPeriode 2024-2025)

Pertengkaran antara idealisme dan pragmatisme, ekstremisme agama, islamofobia, desakralisasi pendidikan pesantren, universalisme Barat, sekularisme, liberalisme, budaya patriarki, FOMO toxic, the second sex, dan pelbagai masalah lainnya bukan sekadar deretan istilah kontemporer. Ia adalah lanskap epistemik yang saling bertaut, saling menyublim menjadi satu ekosistem problematika sosial-keagamaan hari ini. Di sinilah urgensi intelektual dan spiritual harus berpadu. Memilih diam, apatis, atau larut dalam arus wacana dominan justru menjadi gejala dari kepayahan berpikir dan kegersangan batin. Ketika wacana Islam dibajak oleh kutub fundamentalisme dan komersialisasi dakwah, kita mesti memasuki terowongan lain: jalan sunyi yang kita namai bersama sebagai suara ijtihad-liberatif, suara yang menolak diam, suara yang bertanya, suara yang menggugat makna-makna lama demi lahirnya makna baru yang lebih membebaskan.

Suara ini bukan berasal dari menara kekuasaan atau podium populer. Ia hadir dari tepian, dari perempuan yang disisihkan, dari pemikir yang dikucilkan, dari aktivis yang difatwakan sesat. Namun justru dari pinggiran inilah muncul kesadaran yang lebih murni, lebih jujur, dan lebih visioner. Seperti angin subuh yang tak gaduh namun membangkitkan kesadaran, suara ijtihad ini menyusup ke dalam celah-celah kesadaran kita yang lama dibekukan oleh tafsir tunggal, adat patriarkal, dan hegemoni tekstualisme. Dalam sunyi itulah lahir keberanian melampaui batas-batas yang bukan ditentukan oleh wahyu, melainkan oleh warisan sosial yang kehilangan daya hidupnya.

Pertama, perempuan tidak bisa lagi direduksi sebagai pelengkap sejarah. Mereka adalah subjek sejarah yang otonom: penafsir, pendidik, pemimpin, dan penjaga cahaya di zaman kegelapan. Tafsir agama yang menempatkan perempuan hanya sebagai objek harus direkonstruksi dengan pendekatan yang lebih holistik. Dari sini, Islam progresif menawarkan pendekatan berbasis maqāṣid, hermeneutika, dan kesadaran spiritual agar perempuan bukan sekadar diberi ruang, melainkan diakui sebagai pusat tafsir yang sah. 

Dalam sejarah Islam sendiri, kita menemukan jejak kepemimpinan perempuan dalam beragam bentuk: dari Ratu Bilqis sang Pemimpin perempuan dan spirit syar'u man qablana, Sayyidah Khadijah yang menopang risalah, Sayyidah Aisyah yang menjadi rujukan keilmuan, hingga Syifa binti Abdullah yang ditunjuk Umar sebagai penanggung jawab pasar, bukti bahwa problem patriarki bukan datang dari Islam, tapi dari budaya yang menempel padanya.

Hermeneutika tidak bisa berjalan sendiri tanpa disertai pengalaman batin. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan tafaqquh ruhani: sebuah kesadaran sufistik dalam membaca teks, yang tak sekadar memeras dalil atau berhenti pada wilayah esoteris saja. tetapi juga mengendapkannya dalam perenungan eksistensial atau makna eksoteris yang ada. 

Dalam dunia sufistik, perempuan tak pernah inferior. Justru sifat-sifat feminin seperti rahmah, jamāl, dan sabr adalah inti dari jalan spiritual. Inilah yang menjadikan tafsir bukan lagi kegiatan rasional murni, tetapi proses spiritual yang mengubah laku hidup. Tafsir sejati adalah liberasi; yang membebaskan kita dari kejumudan dan membuka cakrawala makna yang selama ini tersembunyi.

Di sinilah tajdid (pembaruan) menemukan rumahnya. Tajdid bukan sekadar membongkar warisan klasik, melainkan menyaring kembali nilai-nilai etis dan spiritual yang relevan untuk zaman ini. Dalam tanah gersang akibat kekerasan tafsir dan komersialisasi agama, ijtihad yang berangkat dari nurani perempuan menjadi benih yang subur. Kepemimpinan perempuan bukan anomali; ia adalah manifestasi dari dialektika wahyu dan sejarah. Di tangan perempuan, kepemimpinan bukan soal dominasi, tapi transformasi. Bukan sekadar formalitas jabatan, melainkan daya hidup yang merawat, membimbing, dan menyalakan cahaya kesadaran umat.

Kedua, kita harus membongkar mitos bahwa kepemimpinan, dakwah, dan penafsiran adalah ranah laki-laki. Kategori “maskulin” dan “feminin” adalah konstruksi yang kerap kali dipolitisasi demi melanggengkan hierarki sosial-keagamaan atau kasarnya kepentingan dunia dan segala belenggunya. Biarkan semua mengambil andil untuk menyampaikan suara-suaranya. 

Dalam Islam, amanah dakwah bersifat universal. Laki-laki dan perempuan sama-sama ditugaskan sebagai khalifah di bumi. Yang membedakan bukan jenis kelamin, melainkan isti‘dād atau kesiapan ruhani dan intelektual. Ketika perempuan menunjukkan kompetensinya dalam mengasuh umat, mengajar, menulis tafsir, bahkan memimpin gerakan sosial-keagamaan, maka menafikan mereka dari ruang publik sama saja dengan menentang nilai tauhid: keadilan, kesetaraan, dan kemuliaan insani.

Melampaui batas bukan berarti menggugat syari‘at, tetapi menolak stagnasi yang mengatasnamakan syari‘at. Ia bukan sekadar perlawanan terhadap budaya patriarkal, melainkan pembacaan ulang terhadap makna-makna Islam yang telah lama dikunci oleh tafsir literal dan kepentingan politik. Dakwah tidak lagi bisa diserahkan kepada suara tunggal. Ia harus membuka ruang polifonik, ruang dialog, dan ruang cinta. 

Dalam ruang ini, suara perempuan tidak hanya pantas didengar, tapi dibutuhkan. Sebab di tengah dunia yang makin bising dan terpolarisasi, suara perempuan membawa kesejukan, keberanian, dan kelembutan yang menyelamatkan.

Inilah suara ijtihad. Suara yang lahir dari luka sejarah. Suara perempuan yang dibungkam lalu bangkit. Suara zaman yang rindu keadilan. Suara yang menafsir dengan cinta dan membebaskan dengan ilmu.



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama