IMAMAH AL-FIKRAH : LIMA DIMENSI KADERISASI UNTUK MENGHIDUPKAN PERADABAN



Oleh : IMMawan Muh. Hisyam

(Ketua Bidang Kaderisasi PC IMM Kota Makassar Periode 2024-2025)


Dalam perjalanan sejarah peradaban, Kaderisasi selalu menjadi instrumen vital dalam menjaga keberlanjutan cita-cita luhur suatu bangsa atau umat. Namun, dalam konteks kaderisasi kepemimpinan yang bermakna, Rūhul-Qiyādah bukan hanya soal serah terima jabatan atau posisi, melainkan juga soal pewarisan ruh peradaban yang melampaui batas struktural. Lima dimensi dalam Rūhul-Qiyādah ini menawarkan kerangka yang lebih mendalam, memadukan aspek spiritual, intelektual, sosial, dan peradaban dalam suatu kesatuan yang utuh.

1. Ruhul-Ma’nā (Spiritual-Meaning Transmission)

Kaderisasi yang sejati bukan sekadar memberi instruksi atau keterampilan teknis, tetapi lebih dari itu—menyalurkan makna hidup yang mendalam. Ruhul-Ma’nā adalah tentang menghidupkan nilai-nilai spiritual yang menjadi dasar dalam setiap langkah pemimpin. Dalam tradisi Islam, pewarisan nilai ini dapat ditemukan dalam firman Allah

{ وَلَقَدۡ ءَاتَیۡنَا مُوسَى ٱلۡهُدَىٰ وَأَوۡرَثۡنَا بَنِیۤ إِسۡرَ ٰ⁠ۤءِیلَ ٱلۡكِتَـٰبَ (53) هُدࣰى وَذِكۡرَىٰ لِأُو۟لِی ٱلۡأَلۡبَـٰبِ (54) }

 “Dan Kami wariskan kepada Bani Israil Kitab itu untuk petunjuk dan peringatan bagi orang yang berakal.” (QS. Ghafir: 53-54). 

Kaderisasi yang tidak berakar pada makna akan cenderung kehilangan arah dan tujuan. Oleh karena itu, seorang kader bukan hanya penerus tradisi, tetapi juga pewaris misi ilahiyah yang lebih besar—yakni, misi kehidupan yang mengedepankan nilai luhur dan spiritualitas.

Melalui Ruhul-Ma’nā, kaderisasi membuka jalan bagi pemimpin untuk menumbuhkan kesadaran spiritual yang mendalam terhadap realitas hidup yang lebih besar, bukan hanya untuk dirinya tetapi untuk masyarakat dan peradaban yang lebih luas. Dengan makna yang jelas dan tujuan yang luhur, seorang pemimpin bisa menjadi penjaga nilai, bukan sekadar pengelola sistem.

2. Aqlul-Hayah (Intellectual Continuity)

Aqlul-Hayah menekankan pentingnya kesinambungan pemikiran yang bersifat kritis dan dinamis. Kaderisasi harus memfasilitasi perkembangan intelektual yang tak hanya melanjutkan apa yang telah ada, melainkan juga berani menafsirkan dan memperbarui nilai-nilai yang ada sesuai dengan tuntutan zaman. Dalam Pada itu, perlu dipertegas sedikit power ilahiyah.

الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ

"(Yaitu) orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal." (Al-Zumar : 17)" 

Mengenai ayat, Nalar akal perlu dimaksimalkan sehingga mencapai intelegensi atau suatu kemampuan untuk menerapkan pegetahuan yang sudah ada untuk memecahkan berbagai masalah. Itu kata Donald Stener, seorang Psikolog Amerika.

Sejarah mencatat bahwa warisan intelektual dari Nabi Muhammad SAW kepada para sahabat dan dilanjutkan oleh para ulama menjadi pilar besar bagi kebangkitan peradaban Islam. Aqlul-Hayah bukan hanya tentang pengulangan pengetahuan, tetapi tentang pemikiran yang berkembang, mengkritisi dan menemukan solusi atas tantangan baru. Dengan mengedepankan pemikiran yang tajam dan kritis, kaderisasi menciptakan pemimpin yang tidak hanya menjadi penerus, tetapi juga penggerak perubahan yang membawa pembaruan sesuai dengan kebutuhan zaman.

3. Jasadul-Mas’uliyyah (Etika Tanggung Jawab Sosial dan Sejarah)

Kaderisasi mengajarkan bahwa kepemimpinan bukan sekadar urusan struktural, tetapi adalah tanggung jawab sosial dan sejarah. Kader tidak hanya diharapkan untuk mengisi kekosongan struktural, tetapi untuk menghidupkan kembali ruh peradaban yang pernah ada. Jasadul-Mas’uliyyah adalah tentang mengemban amanah yang lebih besar, yakni menghidupkan tanggung jawab eksistensial untuk umat manusia.

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya..." (Al-Nisa 58) 

Contoh paling jelas adalah bagaimana Khalifah Abu Bakar tidak sekadar menggantikan posisi Nabi Muhammad SAW, tetapi ia menghidupkan kembali visi dan misi yang diwariskan oleh Nabi—yaitu, menjaga dan mengembangkan wahyu dan ajaran Islam yang mencerahkan peradaban. Tanggung jawab seorang pemimpin adalah untuk menghidupkan ruh peradaban dan bukan hanya mengisi posisi kosong dalam struktur organisasi. Dalam konteks ini, kaderisasi menciptakan pemimpin yang memahami bahwa mereka bukan hanya pengelola organisasi, tetapi penjaga sejarah dan pelanjut amanah besar.

4. Afqul-‘Ashr (Emansipasi Zaman)

Di tengah kemajuan zaman yang cepat dan sering kali penuh tantangan, Afqul-‘Ashr mengingatkan kita akan pentingnya pembebasan dari stagnasi pemikiran dan praktik yang tidak relevan lagi. Kaderisasi bukan hanya soal menjaga tradisi, tetapi bagaimana menghubungkan nilai-nilai lama dengan tantangan zaman yang terus berkembang. Seorang pemimpin yang terjebak dalam keterbelakangan berpikir akan menjadi korban zaman, sementara seorang pemimpin yang sadar akan tantangan zaman akan mampu menghadapi masa depan dengan penuh wawasan dan keberanian. Makanya dalam sebuah kaidah dikatakan. 

ٱلْمُحَافَظَةُ عَلَى ٱلْقَدِيمِ ٱلصَّالِحِ وَٱلْأَخْذُ بِٱلْجَدِيدِ ٱلْأَصْلَحِ

“Dan Kami hendak Menjaga tradisi lama yang baik dan mengadopsi hal-hal baru yang lebih baik"

Kaderisasi yang berbasis pada Afqul-‘Ashr membebaskan para pemimpin untuk berpikir kritis, melibatkan penyesuaian ideologi dengan kondisi zaman, serta tetap menjaga esensi nilai yang ada. Pemimpin zaman ini adalah mereka yang mampu menjadi pembaharu, menjawab tantangan dengan cara yang lebih progresif dan relevan dengan kebutuhan umat dan peradaban global.

5. Nafasul-Ummah (Visi Peradaban Jangka Panjang)

Nafasul-Ummah adalah dimensi kaderisasi yang melihat jauh ke depan, bukan sekadar memenuhi kebutuhan struktural atau personal, tetapi membangun visi peradaban yang lebih besar. Tujuan akhir kaderisasi adalah bukan sekadar menyiapkan individu untuk jabatan, tetapi lebih jauh lagi—menghidupkan ruh umat untuk membangun masa depan umat manusia yang lebih baik.

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Ali Imran :104) 

Perkaderan dalam Nafasul-Ummah membawa kita pada pemahaman bahwa bangkitnya ruh umat adalah sebuah perjalanan panjang yang melibatkan proses pendidikan, pembinaan, dan pengembangan yang berkelanjutan. Setiap kader yang dibentuk harus memiliki visi jangka panjang, yang tidak hanya untuk kepentingan dirinya, tetapi untuk kemajuan peradaban umat dan kemanusiaan secara keseluruhan. Pemimpin yang dilahirkan melalui proses ini tidak hanya mengelola sumber daya, tetapi juga menyemai bibit perubahan yang akan mengarah pada kebangkitan peradaban.

Sebuah Benang Merah

Dalam Rūhul-Qiyādah, kaderisasi tidak hanya berfokus pada sistem dan struktur, tetapi lebih pada ruhnya yang mengalir melalui lima dimensi utama ini. Dengan Ruhul-Ma’nā, kaderisasi menanamkan makna hidup yang lebih mendalam; dengan Aqlul-Hayah, ia memastikan kesinambungan pemikiran yang kritis dan relevan; dengan Jasadul-Mas’uliyyah, ia mengajarkan tentang tanggung jawab sejarah; dengan Afqul-‘Ashr, ia membuka jalan bagi pembaruan; dan dengan Nafasul-Ummah, ia menumbuhkan visi peradaban jangka panjang.

Akhirnya, kaderisasi bukan sekadar menggantikan orang di posisi yang sama, melainkan menyambung nyawa peradaban yang akan terus hidup dan berkembang. Sebagaimana dikatakan: “Yang diwariskan bukan nama, tapi nyawa dari nilai-nilai.”

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama